I ended 2022 receiving several love letters from my closest friends. This is a habit that I started since many years ago: tulis apresiasi dalam surat cinta ke temen-temen, boss, kolega gue dan siapapun sosok yang berjasa dalam tahun tersebut. Ini kebiasaan yang sengaja dibangun, bukan kebiasaan yang datang dari cara gue dibesarkan. Gue mulai belajar nulis apresiasi sejak tahun 2013 dan akhirnya jadi rutinitas.
Gue ga ekspresif, jadi gue merasa sincere love letter can make up for it. Awalnya susah untuk bisa nulis dan baca surat apresiasi tanpa nangis, karena gue nulis beneran dari hati dan gue merasakan ketulusan surat-surat yang gue terima juga.
I am good with words. Gue tahu bagaimana menulis untuk menyampaikan pesan, emosi dan juga keinginan/requests. Bukan sekedar pesan generik "You have been so kind to me, thank you!"
Tujuan utamanya? Memberi tahu betapa kerennya mereka, betapa terbantunya gue, dan betapa bersyukurnya gue ke Tuhan/universe untuk kebaikan yang gue terima. Ini jadi central theme dalam hidup gue.
Tulisan dan cara komunikasi gue di blog, di real life, maupun di sosmed, juga ga jauh dari syukur, terima kasih, dan ungkapan-ungkapan apresiasi. Gue banyak menerima blessings dalam hidup, dalam berbagai bentuk. Gue selalu ingin menjadi orang yang tahu cara bersyukur sebagai salah satu value penting dalam hidup gue. Prinsip gue, kalo gue merasa orang lain telah meninggalkan impact positive dalam hidup gue, mereka harus tau. Mereka harus tahu kalau whatever good they did would not go unnoticed. They should be proud of themselves and they should know that they are awesome.
Gue ga terlalu mikirin perasaan pembaca atau penerimanya.
Hey, I've sent out many love (re: appreciation) mails to my Professors. Selama profesional dan motifnya benar, ga pake niat terselubung, gue gak takut dijudge 'aneh' karena surely, ga banyak anak S1 yang menyampaikan apresiasinya. Kadang nulisnya sampe nangis, karena beneran berterima kasih sama Professor tersebut, tapi yang gue bisa lakukan cuma apresiasi lewat kata dan #PayItForward. Gatau juga sih mau apa, mungkin deep down I wish bisa balas budi langsung?
Anyway, gue bener-bener jaga rutinitas ini meski sejujurnya, I skipped 2020.
Tampaknya tahun itu gue beneran stress dan overwhelmed. So di tahun 2021, gue buat conscious effort biar ga numpuk apresiasi di akhir tahun. Gue membiasakan apresiasi lebih sering, kalo bisa immediate - setelah gue menerima bantuan atau energi positif dari orang lain. Gue put effort untuk bilang langsung apa aja sih hal-hal dan bantuan yang menyentuh hati gue ke boss gue. Gue tulis email apresiasi langsung setelah event, untuk manager di kantor yang buka sesi casual meet up/slash/internal networking.
So far ga ada yang salah, sampe salah satu teman bilang "Jangan terlalu sering appreciate, jangan terlalu mudah merasa orang lain itu baik. I feel bad for you."
My initial reaction was "???"
Lalu tiba-tiba langsung nonstop tears. Pagi-pagi fresh, di tempat umum. Gue marah, sekaligus sedih, dapet feedback itu. Selama beberapa saat, I tried to rationalize WHY gue nangis. To which, I found no answer.
I guess part of me took it as a rejection. Tapi ga logis, all I did was being a decent human being, thanking and appreciating the other party for their help. I gave reasons on WHY I feel that you are awesome. WHICH PART of your action had moved me.
It took me hours to process my own emotion.
I finally concluded that I question HIS value, bukan my value. Tapi berhubung cara penyampaiannya seakan-akan action gue yang kurang bijak, gue jadi overanalyze "Did my appreciation ever go wrong?"
I genuinely question HOW to convey my sincerest appreciation ke orang-orang yang mungkin belom deket? How would they know that I am genuinely thankful? How would they feel if someone tell them that they've made his/her day brighter?
Buat gue, words of appreciation terdengar practical. But his feedback made me scrutinize every of my move, terutama ke yang memberi feedback. This might be the moment when my appreciation gonna go unnoticed. How would that make me feel? How would that make the other person feel?
Disinilah gue mulai memikirkan berbagai possibility. Gue paham ga semua orang bisa dan biasa menerima apresiasi. Gue merasa gak masalah ketika love letter gue yang panjang dan ditulis dengan sepenuh hati itu dibalas "Wah terima kasih ya!"
Gue bisa menerima kalau essay cinta itu gak dibalas sama sekali.
Tapi tampaknya gue belum bisa menerima jika ada yang menolak dan secara sadar menutup jalan untuk menyampaikan apresiasi - karena disampaikan dengan bahasa/cara yang berbeda dengan kebiasaannya. I need to convey my gratitude and channel my thankfulness, and it hurts me when it is NOT allowed. I'd be haunted by guilt when I cannot express my appreciation.
I am still learning to process this. Mungkin lama-lama bisa lebih mengerti atau cuek, tapi sekarang sih masih belum.
Then a friend from uni randomly shared this on Instagram.
I guess this is it. Keep doing the right things.
No comments:
Post a Comment