Showing posts with label UGM. Show all posts
Showing posts with label UGM. Show all posts

Friday, January 30, 2015

IUP IR: Why You Should or Should Not Apply

[updated 2016.12 - scroll bawah, WHY YOU SHOULD NOT APPLY]

Pendaftaran International Undergraduate Program jurusan International Relations untuk tahun 2017 sudah dibuka! Tapi poster gw 2015 soalnya males ganti, gue gak dibayar UGM


Segala informasi bisa dilihat di um.ugm.ac.id pilih IUP dan cari Faculty of Social and Political Sciences aja ok. Gue mau sharing hal-hal yang gak ada diwebsite aja.

TAKE IT WITH A GRAIN OF SALT. BE OPEN MINDED. Ini pemikiran pribadi gue dan tidak merefleksikan jurusan/fakultas/universitas. Alasan gue menulis ini selain karena ingin berbagi, gue gak merasa mendapatkan pandangan yang cukup dari sisi human (bukan academic) sebelum gue memilih atau tersasar di IUP IR. You can judge anyhow you like - again, it is purely my personal opinion.

Proses awal. Alurnya memang bayar dulu baru daftar. Belum bayar uang pendaftaran ya belum bisa akses websitenya apalagi mau dapet nomor pendaftaran.

Dokumen. Ini cukup jelas, cukup mudah. Tahun ini mereka gak minta optional SAT karena emang gak ngaruh. Punya TOEFL atau IELTS gak ngaruh juga karena emang gak diminta dan apapun yang terjadi, tetep harus ikut English Profiency Test punya UGM.

Setelah submit dokumen, mepet-mepet hari H baru akan diumumkan venue tests lewat login website. So bukan terpampang nyata macem Syahrini, harus login dulu sekalian print kartu test juga. tahun lalu di intake 1 sih ga ngaret, Cuma ruangannya aja gak AC dan penuh vandalisme gak pantes jadi agak turn off. Oh ya, venue test bisa dimana saja tapi masih di UGM kok. Cek impression gue tentang itu disini.

Saat test, selalu bawa ID Card. Emang gak akan dicek dengan seksama semacam saat SAT. Misalnya pas daftar pake nomor passport, pas hari H pake KTP. Gak papa. Gak ngaruh.

Isi test IUP IR UGM. Nah ini. Gadjah Mada Scholastic Test itu semacam TPA tapi in English. Kalau biasa mengerjakan TPA harusnya oke. Paling susah di persamaan dan lawan kata aja karena tahun lalu sih setingkat SAT ya. But most of my friends never took SAT before and they were accepted so just chill. Bagaimana persiapannya? Download buku scholastic di google deh. Banyak kok yang in English. Buat yang punya kelemahan di gambar/logika, beli buku TPA di Gramedia aja. Cukup membantu. Gak usah lebay preparation berbulan-bulan, ntar lo yang nyesel temen lo aja santai semua.

English Profiency Test versi UGM namanya AcEPT. Lebih mudah daripada versi LIA. Kalau mau belajar dari buku TOEFL, cari yang versi Paper ya (nilai maks 667 gitu) jangan yang versi IBT. Speaker saat intake 1 tahun lalu sangat parah dan saat listening ga ada pertanyaan. Cuma statement terus di booklet test pun cuman pilihan ganda. Agak membingungkan menurut gue.

Persiapkan mental karena bisa aja lagi ujian mati listrik kaya gue tahun lalu. Don't expect too much dengan embel-embel internasional. (masih kesel)

Interview biasanya diadakan di fakultas masing-masing. Disini baru deh bisa liat ruangan IUP tuh macem apa. Jangan lebay, mejanya sama aja kaya SMP gue (sekolah negeri loh SMP gue). Semua berAC tapi ACnya juga suka panas kok kalo lagi kuliah. Interview gak lama-lama, paling 7 menit. Yang ditanya standard, kenapa HI, apa ekspetasinya gitu. Direct your own interviewer. Gue sih dulu emphasize bahwa gue gak mau HI, ngejarnya Banking and Finance tapi karna di Indonesia ga ada, yaudah deh HI aja. Terus interviewernya nanya, "Masa di FEB gak ada?" "Tapi kamu niat disini kan?"

Ada juga pertanyaan kalo keterima IUP masih mau ikut reguler gak, kalo gak mau, kenapa? Gue bilang karena gue males dengan cara belajar konvensional yang gak nyaman. Konvensional saat itu gue kebayangnya di ruangan-ruangan suram terus dosennya terus ngejelasin tanpa membuka kesempatan untuk pertanyaan haha. Be creative lah. Tapi sepanjang interview gue kebanyakan ngomong kegiatan gue yang menunjang ke-HI-an gue sih.

Yang menarik, dua interviewer yang ternyata dosen HI ini tampaknya gak baca dokumen kita. Mereka gak tau kalo gue attach documents dari past achievements gue dan nilai SAT. Saat gue tanya seberapa penting nilai rapot dan dokumen juga mereka cuma bilang "If you did well on your test this morning, you should not worry about that."

Yha terus dokumen buat apa...

Terus I did ask another question, "Berapa orang yang akan diterima?" saat itu dibilang maksimal 40. Di intake 1 sendiri akan diambil 20 orang katanya sih. Lalu beberapa bulan kemudian gue tanya ke kantor IUP juga dibilangnya maksimal 40. Cuma lagi-lagi namanya juga gak tertulis, jangan kebanyakan ngarep. Tahun ini gue sekelas 52 orang. Sekarang sih di web (disini) tertulis maksimal 35, tapi ya sabar-sabar aja kalo harkos lagi. Toh waktu gathering juga pengurus IUPnya minta mahasiswa untuk sabar sampe semester 3.

'katanya sih gini'
I know that this post sounds too negative but I am speaking from my own point of view and experience. Gue memang gak pernah berharap untuk masuk HI atau IUP. IUP IR cuma cadangan dan gue pun memang gak mau ikut tes dimana-mana lagi, malah tidur pas SBMPTN dan ke reject dari Bisnis Islam UI saat SNMPTN. If you wonder tentang kehidupan di HI IUP, silahkan cari post gue yang berlabel atau bertag UGM.

Do I regret my choice? Iya. Do I enjoy my IR life? Depends. Gue gak suka dengan sistemnya yang sangat jauh dari Internasional, gue masih bertanya kenapa butuh 4 minggu untuk ngeluarin nilai. Mana juga tuh small-sized class. Gue gak suka dengan obrolan parkiran yang mendominasi hari-hari. Esensi hidup HInya gak dapet. Tapi gue suka dengan dosen-dosennya yang super smart dan sangat menguasai materi.

The best part of IUP IR? Tingga di Yogya dengan full facility. Gue gak punya cerita menyentuh tentang struggle ke kampus segala rupa, hidup di Yogya sangat nyaman dan murah menurut standard Bogor. English. Tulisan-tulisan gue juga significantly improved karena program dalam Bahasa Inggris. Masih shallow sih tapi. Hands down, UGM menang di lokasi dan suasana dibandingkan UI.

Nyebutnya juga enak. Bayangin, bulan Februari gue udah tenang karena udah dapet Universitas Negeri. Jurusannya bagus pula. Ketenangan itu berlangsung sejak diterima sampai sebelum UAS semester 1. Paniknya pas UAS aja karena banyak tugas.

The worst part of IUP IR? The system. The class ambience. Ga ada angin-angin kiasu yang memotivasi. Semua orang tampak chill atau gue yang terlalu chill, entah. Gue gak termotivasi karena terlalu banyak pembicaraan penyesalan salah jurusan di kelas. Rata-rata, kita sedang beradaptasi. Again, ini sangat personal dan gak mencerminkan IUP IR as an institution.

Kalau gue harus memilih lagi, gue gak akan pilih IUP IR. Gue lebih pengen ke Prasmul untuk jurusan dan kiasunya. Gue suka sih bisa tidur sehari 10 jam. Bahkan lebih. Tidur siang/sore juga jadi rutinitas kok. Kebayang kan sesantai apa? Tapi bukan itu yang gue cari, saudara-saudara. Gue suka jadwal yang padat dan produktif.
Kalau gue harus pilih PTN lagi, gue akan tetap stick dengan UGM. Probably di FEB. Bukan IUP karena selain English dan exemption dari pelajaran Agama (ini sangaaaaaat signifikan buat gue but still), gue belum bisa lihat menangnya IUP dibanding reguler. Exposure? Temen-temen gue banyak yang dari sekolah internasional di Kenya, Jepang, Venezuela, Kanada, Inggris, Korea etc. I think they already got 'an international exposure'. To be honest, gue akan pake SEALNet experiences gue untuk exposure ketimbang harus bayar mahal untuk exchange atau summer school. I don't think I can afford it. I'm proud enough of my exposure in SEALNet anyway haha.

Selamat memilih!

[update]
Gue cukup marah dengan inkonsistensi program IUP ini. Kasarnya, my parents just wasted 25 juta buat tes kesabaran anaknya.
1. Ada alasan kenapa gue bawa-bawa SEALNet ditulisan ini. Saat gue masuk, TERTERA ada 3 jenis exposure. Short term (MUN counted), medium (summer school), long term (exchange atau double degree). Dalam perjalanannya mereka gak anggep short term lagi. Temen gue ada yang merasa sangat tertipu karena dia punya intention yang sama dengan gue, short term aja maunya. Wow. Gue kira mereka udah cukup boong (mau lebih halus, inkonsisten? Intinya sama-sama penipuan) dengan jumlah murid. Taunya masih lebih parah.

2. Gue meninggalkan IUP setelah 1 semester, atau Januari 2015. Yes, I did not formally say bye tapi sistem mereka seBURUK itu karena mereka masih count gue sebagai mahasiswa aktif. Ortu gue terima surat dibulan Oktober 2016. 1.5 tahun... Kalo pacaran terus ditinggal putus, tuh mantan bisa udah nikah sama orang lain n punya anak woy.

no pic hoax?

3. Lo harus tau cerita dibalik 3.07 itu


Diplomacy gue ga inget bahkan gue belajar itu siapa gurunya...
Gue ga ikut midterm International Organization. Make up assignment baru dikerjain menjelang final. Final gue tentang SEALNet btw. Terus tadaa A-
Indonesian Social and Political System.... Wow I truly don't deserve this C+. Bukan karena gue maunya B tapi karena gue GAK ngumpulin final. Alias yes, nilai final gue KOSONG. Tapi gue pass. Dengan C+. Lu tau gak kalo di Korea menghindari C+ buat dapet at least B itu harus jungkir balik ga tidur effort luar biasa? Ini free. Gratis.
Social and Political History of Indonesia, gue telat dan ga ngumpulin beberapa tugas disaat muak dan sibuk dengan KGSP. See. Nilainya masih bagus. Probably karena bobot tugasnya ringan?
Indonesian Foreign Policy... Well kalo gue bisa dapet C+ effortlessly, gue dapet B- karena kasih secuil effort? Hahaha gue masih inget banget finalnya 2 Januari, dihari pengumuman KGSP dan gue ke toilet saat jam 3 Korea buat cek email. Ternyata gue keterima KU then bye. My life di UGM cukup sampai disitu. I submitted whatever shit I wrote I don't really care anymore.
Yang lainnya gue rasa gue deserva apa yang gue dapet. All in all, IPK gue harusnya LEBIH RENDAH dari itu. I am all for fairness and this is not fair. On the other side, gue cukup puas bisa membuktikan mitos bahwa di Fisipol lebih susah dapet IPK 2 koma daripada 3 koma. True.

4. Rekomendasi: kalo lo pinter dan beneran mau masuk UGM, jalur reguler aja. Kalo butuh Bahasa Inggris, masih bisa dicari ditempa lain. Kalo ga pede dan bisanya cuma Bahasa Inggris, ok then this is perfect for you.

Post-Semester 1

Balik lagi ke seri UGM yeay! Bahas kuliah, apalagi di IUP, emang gak ada abisnya.

Final exams was enjoyable. Gimana engga, semua di squeeze dalam 4 hari dan mayoritas take home. Gak seperti cerita sedih Tyas yang 3 minggu atau Jeje yang 2 minggu. Disaat-saat seperti inilah gue merasa bayaran puluhan juta itu worth the privileges.

Take home exam emang sepertinya jadi tradisi HI. Mayoritas berupa essay atau paper. Tapi untuk dosen kreatif seperti Mbak Nana, bisa juga berupa Photo Exhibition. Take home ini memang lebih kreatif dan original, tapi gue sendiri gak gitu suka. Menurut gue, essay dan paper bisa menunjukkan kedangkalan gue dengan sangat jelas. Effort yang dibutuhkan juga jauuuuh lebih banyak. Bagian yang paling gue benci adalah penulisan referensi. Bukannya berniat menjiplak, gue males banget menulis referensi sesuai aturan karena terasa super kaku haha.

Gue mengikuti semua exams kecuali mata kuliah favorit, Indonesian Social and Political System. Harusnya, examnya diadakan tanggal 2 Januari tapi karena dosennya super baik, jadi take home paper yang dikumpulkan maksimal tanggal 9 Januari. Emang dasar manusia deadliner, paper itu gak gue sentuh dong sebelum tanggal 2 Januari. Eh lama kelamaan niatnya ilang karena... Udah dapet universitas lain! Yeay!

Ada cerita menarik tentang ini. Saat lagi mengerjakan UAS Indonesian Foreign Policy, gue ke kamar mandi dan mengantongi HP. Ternyata ada email masuk dari Korea University mengabarkan kalau gue diterima diprogram Business Administration. Alhasil, sisa soal-soal IFP gue jawab setengah hati dan hampir tanpa mikir. Hahaha. Jangan ditiru, akibatnya, gue cuma dapet B- :p

Setelah finals berakhir, gue gak langsung pulang dan menghabiskan seminggu dulu di Jogja. Sempet ke Solo juga bahkan. Solo emang lovely banget!

Sekarang, gue udah balik lagi karena alasan yang sudah gue sebutkan. Tapi gue juga ke kantor IUP tadi untuk menanyakan perihal cuti atas saran Ibu. Gue harusnya sih langsung resign tapi Ibu bilang cuti aja jadi kalo ada apa-apa bisa balik lagi. Ternyata prosesnya cukup ribet dan gue gak berminat untuk mengurus secara formal so yeah...

Nilai-nilai juga belum keluar. Ini udah tepat 4 minggu setelah ujian berakhir dan baru 4 mata kuliah yang udah ketahuan nilainya. Talk about crappy system, baby.

So yeah, pertimbangkan baik-baik sebelum memilih IUP in IR. It's not as prestigious as it seems.

Monday, December 22, 2014

WEEK 14: FINAL(LY)

Telah tibalah kita pada masa yang berbahagia. Minggu terakhir semester 1!

There was nothing special actually. I was 'killed' on the first day of week 14. I supposed to answer a question as a realist but I ended up saying my true feelings which sounded very liberal.

Tuesday class was very fun because we watched The Princess Bride for Diplomacy course. Then the Social Political System class was okay. The wrap up was kinda nice and I am determined to get my writing posted on local newspaper for the sake of getting A! Hahaha. Next was Indonesian Foreign Policy class and the lecture was kind enough to give us the necessary materials to prep for the finals. Foreign Policy is one of the hardest courses since the materials and the score are very broad - from 1945 until now. The final wrap up was UNDP Simulation for International Organization course! Yeay OMG I managed to survive my very first Model United Nations!

UGM IUP INTERNATIONAL RELATIONS 2014
 The real highlight was how I get close to my classmates after 13 weeks.

I am not the kind who loves to hang out around with bunch of people. I prefer to keep my circle small and be very loyal to them. My besties in Yogya are all people from the past haha. I mean, my old schoolmates from middle school and high school. I was very late in finding my click in IUP because they are all come from very well off background and money is never an issue. It takes time to adjust and adapt since I've been living in a quite frugal lifestyle since I was in primary school. They're all kind anyway.

So Sheila, the Banjarmasin girl, came and slept over in my house on Monday. I was delighted to the fact that I finally shared thoughts with an INTJ yeaaay! Then we watched DORAEMON with 3 other IUP girls (Shani, Arin and Liony) at MAGELANG which is 1 hour drive from Yogya on Tuesday. Yes we love Doraemon sooo badly!

Then Yasmin also came because her dorm got curfew and she just finished discussing on MUN position paper at 11-ish. We had quite a talk and I personally enjoyed knowing my classmates better. If only I could speed up the whole process and find my click right away. I wouldn't take it for granted tho - I only get close to Tyas and Luluk after a year. One year.

Saturday was another fabulous day. I picked up Tyas from the airport on motorbike and I just remembered that I didn't bring helmet for her! I quickly rushed to the nearby Lottemart and bought the cheapest helm (which felt like freakin 'panci'). It was raining and terribly cold but I felt happy anyway. It wasn't only about picking up my Cireng Keraton and Beard Papa that she brought. It was a form of soft diplomacy and terribly good seduction to make her stay in my house for another week hahahahaha.

Then I posted on Path how I just stocked Cireng. I guess the charm worked that Sheila, Vannessa and Yasmin came to my house and spent another two nights here yeaaay!

So I guess, Week 14 was fabulous. I value the process that I've been through. My papers don't sound that shallow anymore. Coming to college is indeed a very good investment.


Sunday, December 7, 2014

Week 12: Penantian dan Cobaan

CAPEK padahal gatau capek ngapain.

Gue balik dari Bogor hari Minggu sebelum minggu ke-12 dimulai cuma karena diminta manusia paling alay seBojonggede buat cepet-cepet balik ke Yogya. Berhubung dia sangat baik dan gue lagi banyak maunya, jadi turutin aja deh.

Hari Senin hampir gak kuliah karena males tapi kemudian teringat kalau ini pertemuan terakhir lecture. Yasudah, datang saja dan gak nyesel karena materinya sama dengan tugas paper gue haha. Lesnya semakin seru dengan semakin banyak hanja dan cultural context. Mungkin kakaknya sadar kalo gue bego dicekokin grammar.

Kemudian malamnya gue mau buka laptop tapi ternyata laptop gue pecah layar seperti yang sudah gue ceritakan. Yasudah. Bye, tidur aja.

Hari Selasa, penuh suasana duka jadi gak ikut kelas. Alasan sih tapi gimana dongs hahaha. Karena gak sadar, pikiran tercecer dimana-mana sembari terus merefresh page studyinkorea.go.kr; gue dan Tyas cuma bawa 1 motor ke kampus. Motornya pun dibawa Tyas dan ternyata gue beres setengah jam lebih awal. Karena Tyas gak bales di whatsapp, gue pun menunggu dengan memutari kluster soshum UGM. Gak penting banget mana sambil bawa-bawa laptop pula... Tapi pikiran gue emang lagi gak lurus hari itu.

Akhirnya, pengumuman diupload saat gue naik motor sama Tyas! Yeay karena gue dibonceng, gue waro Tyas selama beberapa saat sambil memastikan bahwa nama gue termasuk calon grantee KGSP 2015. Dan ternyata betul! Woohoo. Langsung deh kontak finalis yang satu lagi via Facebook untuk mengabari kalau kita resmi terpilih. Selama ini kan cuma lewat telpon dan Ibu yang super skeptis bilang, "Gimana taunya kalo itu gak diboongin? Jangan-jangan salah denger lalala"

Tapi problem was not solved yet. Gue masih mikirin laptop dan malam itu gue tidur dengan gak tenang.

Hari Rabu... Kelasnya begitu saja. Untuk pertama kalinya, gue tidur nyenyak di kelas Social Sciences karena memang malamnya gak bisa nyenyak dihantui laptop. Untuk pertama kalinya juga gue gak telat dateng les! Hahaha.

Cultural contextnya sangat menarik deh soalnya ngebahas bank. Well, gue emang interested dengan dunia perbankan dan ada banyak hal yang membuat perbankan Korea jauh lebih advanced dan attractive untuk nasabah. I think I can just use it for my thesis - the comparison between Indonesian Banking Industry and Korean Banking Industry.

Hari Kamis... Hmm. Harusnya bangun pagi, tapi cuma wacana. Harusnya abis kuliah senam, tapi juga wacana. Akhirnya malah ke Acer dan ke amplaz. Jauh banget kan dari wacananya.

Hari Jumat... Ada kuliah pengganti tapi sepi gitu. Gak nyesel sih dateng karena seengganya dapet ilmu hahaha. Anyway, beres kuliah gue hangout sama Aa Kevin dari Cimahi dan Sheila dari Banjarmasin. Gue sebelumnya emang udah cukup sering ngobrol sama Kevin dan segera memenuhi udara dengan Bahasa Sunda aing kalo kita lagi ngobrol. Tapi kalo sama Sheila sih cuma segitu-gitunya aja gak pernah ngobrol beneran ngobrol. Mereka ini anak MUN loh btw. Super seksi kan! Hahaha.


Gue ikut Sheila nemenin Kevin urus paspor dan karena mereka bawa sepeda sedangkan gue bawa motor, gue pun jadi semacam 'Ibu' yang ngawasin dari belakang gitu muahaha.

Beres urusan paspor, gue sama Sheila jalan ke salon dan makan di Seturan. We exchanged thoughts dan ternyata dia INTJ, saudara-saudara! Tipe yang sulit ditemui dan sulit dimengerti seperti gue hahaha. Di hari yang sama, gue baru tau kalo Tyas itu exact opposite - ESFP. Bye yas, bye.

tukang pundungin orang


Malemnya gue membuat drama dengan pundung di Pizza Hut sama Tyas. Alasannya gak banget deh. Satu hal yang pasti, kita ngide banget ke pizza hut cuma pake baju tidur plus sandal jepit! For real! Bener aja, masuk restonya langsung diliatin orang-orang. Anggep aja fashion ala Bogor lah ya.

Hari Sabtu... Gue cabut pagi ke gedung MM UGM untuk ikut seminar yang gue gak tau apa. Gue cuma dapet tiket dari Sheila karena dia harus MUN. Beres sesi satu, gue bosen dan gue iseng aja chat Tyas.


Untungnya gue iseng ngechat kalo gak gue bakal telat taunya kalo doi kecelakaan! Langsung deh gue tancap gas ke RS Condongcatur - kira-kira 7km dari MM UGM dengan 9 menit saja karena pikiran gue lagi-lagi berceceran dijalanan. Jangan ditiru yaaa.

Sampe sana, common sense gue bilang dia ada di UGD tapi ternyata malah di Poli Gigi karena yang nabrak dia kena gitu giginya. Tyasnya sih gapapa cuma luka dikit tapi yaa trauma dan panik dong. Sempet breakdown sebentar terus kita urus settlement dan ke bengkel. Gak berapa lama, Tyas langsung cabut ke bandara karena pas pasan nyokapnya dateng. Wush.

Gue gak ngelanjutin seminar karena Sheila udah beres MUN dan gue pun pulang ke rumah tidur dengan tenang. Eh belom 2 jam tidur, Tyas nelpon ngajak ke Amplaz. Masih muka kasur, 7 menit setelah telpon dia udah sampe di depan rumah gue sama nyokapnya. Pembalap emang.

Hari pun ditutup cerita gue dapet sneakers Gosh sale dari 450ribu jadi cuma 150ribu. Dan impian tercapai dengan makan Pepper Lunch gratisan dari nyokapnya Tyas. Yeay rejeki anak sholehah! Hahaha

Hari ini gue bangun as early as 5AM mau ngerjain tugas karena deadlinenya jam 3 sore tapi gue ada wacana mau ke Solo. Sampe sekarang, kayanya sih cuma wacana.

Thursday, November 20, 2014

Week 10: Ratu Boko

Kelas di week 10 sudah bereees! Tinggal tutorial besok dan gue pun bisa tenang. 4 minggu lagi!

Week 10 rasanya semakin... Aneh? Tiba-tiba gue suka sama mata kuliah Social Political History of Indonesia karena dosen mudanya keren banget! Beliau ngasih tugas akhir yang gak butuh in-depth knowledge dari lecture di kelas apalagi makan waktu dengan riset buat karya tulis. Tugas akhirnya adalah pameran foto! Gak heran mbak itu jadi dosen favorit.

OH! Gue makin semangat les Bahasa Korea. Karena ternyata makin kesini makin cocok sama kokonya. Gue pernah setaun diajar native dan gue gak sepaham 4x pertemuan diajarin koko ini. Koko ini juga punya minat yang sama dengan gue terhadap hanja - huruf kanji versi Korea. Susah banget buat belajar hanja sendiri simply karena appnya gak ada dan guru-guru Korea pada gak bisa. Nyari bukunya pun kayanya almost impossible di Indonesia, Singapore, Kuala Lumpur (tried it before). Hanja emang ilmu kuno dan outdated tapi sebenernya seru banget dan mendukung obsesi gue belajar Bahasa Mandarin juga. Sekarang malah jadi nyesel kenapa gak belajar sama koko ini sejak Day 1 gue di Jogja aja. Pasti makin cepet pinter.

Lalu hari ini ada kelas sospol sistem dan gue sangat bersemangat karena temanya diskriminasi etnis. Mungkin awalnya gue gak punya koneksi apapun dengan tema ini, tapi berhubung gue punya masa SMA yang fantastis; tema diskriminasi menjadi sangat relevan dan gue sangat peduli dengan isu tersebut berhubung teman-teman gue merasakan sendiri. Muehehe.

Anyway, highlight week 10 adalah struggle melawan hujan dan kalo gak hujan: melawan mager.
Gue anti banget jadi manusia penuh wacana, maka hari ini pun gue dan Tyas pergi ke Ratu Boko karena udah kelamaan wacana. Hahaha.


after sunset
Dulu gue kira Ratu Boko itu ya cuma sampe gapuranya aja. Ternyata masih ada pendopo dan keputrennya! Mihihi dulu sih males banget jalan jauh karena panas. Sekarang karena udah susah naik motor 18km muka dihajar angin gak karuan, harus dibela-belain.

candi 'gapura' depan

pendopo

luarnya pendopo, ngadep kolam-kolam putri

Jangan berharap gue masukin foto candinya karena lo bisa google sendiri yaa ;)
Nih shot favorite gue yang sebenernya gagal karena Tyas salah mencet tombol.

I don't give a damn *hairflip*

Gue cinta banget sama Tyas bukan karena dia baik hati mau fotoin gue (dia lebih narsis dari gue) tapi karena dia mau mengendarai motor dari rumah-Boko-Seturan! Total lebih dari 30km dengan angin yang sangat dahsyat karena Tyas gak sante, gak bisa dibawah 50km/jam.

Bonus selfie cantik sama Tyas deh haha



Monday, November 17, 2014

Week 9: Hitung Waktu Sia-Sia

Karena virus batuk dan hujan yang datang bertubi-tubi, gue banyak bolosnya. Hari Senin, Selasa cuma separo, Rabu gak bisa ikut kelas SosPolSys karena ujan deresnya ampun dan gak bisa Korea karena tepar, Kamis datang hujan basah kuyup dari Stadion Maguwo dalam usaha mencari obat batuk herbal.

Rangkum dalam 1 kata? Capek.

Mau tau jadwal anak HI kaya apa kenapa bisa capek banget?
Taadaaa! Liat yang tinta item aja ya.


Padahal jadwal gue sekopong itu dan gak pake tari bali pula karena udah males. Minggu ke 8 dan 9 juga benar-benar ringan karena hampir bisa dibilang gak ada tugas! Sekarang gue harus ngerjain 1 essay 1 summary 1 Q&A due Selasa tapi saat ini baca materinya aja baru separo. Udah ga ada semangat rasanya, tiap hari cuma mikir "5 minggu lagi"
"Bentar lagi"
"Udah beres ini bisa lupain politik sementara, sejarah selamanya"
"Setaun libur terus nanti mikirin cacingcacing kurva sama mikirin duit. Bertahan!"
Tetep aja gak mempan dan terus nestapa dan merana.
Capeknya dari dalem sih :P

Gue rasa waktu gue tidur-tiduran sambil main sosial media lebih dari 3x jadwal kuliah gue. Konsentrasi gue tiap conference call bahas summit juga rasanya 5x konsentrasi gue di kelas. Padahal gue bukan di sekolah abal-abal. Gue 'menendang' puluhan orang untuk bisa sampe disini dan menjalani kehidupan yang jadi mimpi ribuan anak SMA di seluruh Indonesia.

Dan disaat seperti inilah Surat Ar-Rahman menggema, "Maka nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan?"

5 minggu lagi.

Wednesday, November 5, 2014

Week 8: Fed Up

Hari ini harusnya menyenangkan. Gue dapat giliran presentasi dan dosennya gak ada. Artinya bisa lebih leluasa dan bebas bantahan. Ternyata lebih baik lagi, asisten dosennya entah bagaimana sangat menghibur hahaha. Saking bingungnya harus apa, terlontarlah "Kevin, nyanyi dong sini lagu Sunda..."

Lalu gue mulai kegiatan baru, les bahasa. Koko mentornya (begitu dia biasa disebut) punya kemampuan linguistik yang gue idam-idamkan: Mandarin, Hokkien dan Korea. Karena masih seumuran, belajar pun jauh lebih mudah.

Gue masuk kelas Indonesian Social and Political System dengan mood yang sangat baik dan ekspetasi tinggi, apalagi setelah tahu kalau dosen utamanya gak bisa hadir. Dosen muda yang mengajar di kelas ISPS jauh lebih menarik karena komunikatif dan informatif saat menjelaskan. Tapi kelas ini gak seperti biasanya.

Mas Dosen tersebut menutup kelas dengan memberikan sebuah refleksi yang sangat mengena dihati. He can't see the passion in our attitudes. We, the students of my class, simply don't have the attitudes. Beliau menyampaikan nasihat dengan cara yang sangat mengena dan humanis. "You cannot sell your brand. You have to sell your brain."

He was referring to the our university's big name. It can't hit me any harder. Betul kok, gue ada disini untuk brand. Gue sendiri meragukan kalau gue punya brain and all that it takes sejak hari dimana gue diterima disini. Gue sangat muak, apalagi ini semua ternyata terasa begitu familiar.

Sebelum gue memutuskan untuk mengambil jalan ini, gue sudah bertanya ke banyak orang. Gue selalu berpikir, trauma itu hanya permainan psikologi yang bisa dilawan. Gue selalu percaya akan perubahan. Gue juga bisa percaya terhadap motivasi orang lain. Gue bukan antipati yang gak bisa berkomunikasi, seperti yang orang tua gue selalu katakan.

Tapi ternyata, trauma itu betul-betul mendalam. Perkataan orang-orang yang sempat sangat menguatkan hati terbukti hanya harapan kosong. Usaha untuk menggunakan perasaan, daripada logika dan rasionalitas, ternyata salah dan membuat gue menyesal. Lagi.

Pilihan yang gue ambil menyadarkan gue akan kebodohan diri gue sendiri. Bahkan lebih bodoh dari keledai. Gue masuk kelubang yang sama untuk ketiga kalinya.

I learned it the hard way. Jangan masuk sekolah dan institusi negeri di negeri ini.

Tuesday, October 7, 2014

Coping with Expectation

My first 6 weeks in uni were tough. But it did exceed my expectation of what an International class is.

As I said, the lectures are great. The materials are okay, the tasks are not that tough compared to my high school. I would agree that we have MANY tasks coming our way but seriously, we have plenty of time to finish the tasks. We don't have that many classes and I don't have any extras beside SAT prep. We can learn to manage the time efficiently lah.

So everything seems alright yet I don't feel comfortable. I feel disgusted every time I have to analyze the political issues - now and then - and I don't see my future in this field. I do not want to lie in whatever I do yet in politics, you can't avoid that. You need to protect your country or even your own dignity and life with lies and deceptions.

Then I realized I still have too many things to complain.

The International class was... just as what I expected. I knew the class would turned out much bigger than they promised. I knew the system was not ready for anything that we can call international-standard. I knew the environment was just not international yet. I knew the classroom would be far less than the NUS Business School standard. I knew I would not see SmartBoard installed in each class. I knew I would meet people who get in to this class effortlessly - just like me. I knew that it is harder to fight when take things for granted, feeling that you don't earn it. You simply or even accidentally get it.

I knew I would be disgusted and upset although I already expected the worst.

What I didn't know is that expecting the worst and getting exactly as what you expected still hurt. Call me stupid, dumb, a total moron but I repeated one of my greatest mistakes in life - to believe in public's schools international class. 

Maybe I was just hoping that I would meet great people that could change my life just like in middle school. Maybe I was just too desperate and too lazy to put extra effort to chase my dream. Maybe I thought I was already familiar with the situation and ready to cope. Maybe I did not know how shallow and dumb I was am.

-----------------------------------------------
By today, two lecturers reminded the class about how disrespectful we are. How noisy, ignorant and misbehaved the students are. I am one of the rascal kids that keep myself entertained with 2048 game in class, paying minimum attention to the lectures. I am so disrespectful that I feel all the attitude and manner lesson that I received in high school will go to waste soon.

I am not happy. I am regretting my choice. I regret all the lazy comfy days I spent in high school. I regret that I was not persistent enough in fighting the pressure to go to public school. I was not convincing enough. Yet, what could I have done better when they put the deadly argument that private school is way more expensive and they just can't afford it?


Wednesday, September 24, 2014

Follow Your Passion?


Tadinya gue yakin. Gak pake ragu. Bahkan gue diminta share tentang betapa gue yakinnya sama passion gue.

Sampai akhirnya gue terjebak disini, UGM. Di HI. Belajar politik, bukan uang. Analisis kejahatan orang, bukan kelakuan pedagang. Nantinya bakal ketemu banyak pemimpin dan diplomat sama pemimpin, bukan banker, investor atau om-om eksmud ganteng.

Dan puncaknya kemarin, setelah gue baca buku 'Sinden-Penari Di Atas & Di Luar Panggung: Kehidupan Sosial Budaya Para Sinden-Penari Kliningan Jaipongan di Wilayah Subang, Jawa Barat'

Secara mengejutkan, gue merasa tersentuh dan terpanggil ketika nama-nama yang biasanya hanya gue tuliskan di buku Karawitan semasa SD dan gue dengar dari Teh Rini waktu belajar Tari Minang diulas dengan lengkap di buku itu. Pelajaran Karawitan itu gak signifikan tapi lihat bagaimana gue masih hapal lagu-lagunya... Bahkan ragam dan penggubahnya.

Kemudian gue jadi gila, literally, karena terlalu bahagia.

Gue meneruskan baca buku tersebut dengan penuh semangat sambil diiringi lagu-lagu jaipong saking kangennya pengen jaipongan aja, gak mau belajar politik lagi. Dan entah bagaimana takdirnya, materi Career Preparation Course hari ini pun Follow Your Passion.

Jadi, apa passion gue di jaipong? Gue bukan penari yang bagus, bahkan baik pun engga. Gue hanya sekedar make a move tanpa mendengarkan feedback dari coach meski sudah diperingati ratusan kali. Gue cenderung menghancurkan tarian daripada membuatnya jadi lebih cantik. Gue sadar betul tapi gue gak peduli karena gue selalu merasa senang.

Kapan coba latian tari gak pake ketawa-ketawa? Ironisnya, gue banyaknya mentertawakan diri sendiri atau gak bisa menahan keterkejutan melihat gerakan yang harus dipelajari selanjutnya.

Saat gue mau melupakan dan berusaha realistis, gue menemukan quote diatas.

Gue gak mengejar gaji besar kok. Yes, gue realistis bahwa gue adalah manusia yang hidup selalu di kota dan bergelimpang fasilitas. Gak pernah sekalipun request gue untuk beli makanan ditolak Ibu dan gue pun jarang request untuk beli barang lain. Sebegitu enaknya hidup gue dan standar itu gak akan bisa dicapai kalo gue ngide jadi penari...

Belum lagi fakta bahwa gue memang gak akan bisa jadi penari atau dance for life karena gue gak memiliki kemampuan yang cukup. Lalu, apa masih harus mengejar passion yang gak ngotak itu?

Gue masih belum menemukan jawaban memuaskan tapi hipotesis gue adalah perasaan dan kegilaan ini semata-mata muncul karena gue gak punya pelarian atas segala ilmu politik yang lebih baik selain mengkhayal dan tidur. Gue masih akan berusaha untuk mengejar mimpi gue, berkutat dengan uang, baik sebagai wealth management pada awalnya, kemudian menjadi manajer dibalik para socio-entrepreneur yang ingin give back ke masyarakat dan kemudian mengurus uang suami - Presiden kita di masa depan B-)

Saturday, September 20, 2014

3 Minggu Jadi Mahasiswa HI

Gak kerasa gue udah mau masuk minggu ke-4 kuliah. Sebenernya berasa sih, soalnya kan tiap minggu diitungin hahaha.

    1. Scheduling
      Jadwal kuliah itu fleksibel dan enak. Banyak kopongnya, dimana lo bisa les atau tidur. Gue suka banget scheduling gue saat ini dan gue rasa gak terlalu capek kecuali hari Rabu. Jadi, hari Rabu gue ada 4 kelas dari jam 7.30 sampe 17.30. Istirahatnya cuma setengah jam sampe sejam. Padet banget. Kelas pertama dan terakhir sangat menarik tapi yang ditengah gak terlalu. Tapi karena terakumulasi, gue suka badmood pulang kuliah dan jadinya suka gak fokus pas bawa motor terus hampir nabrak berkali-kali sepanjang jalan pulang.
      Sisanya? Kopong dan santai. Senin 10.00-12.00 jadi gue bisa ambil flight jam 6 dari Jakarta, Kamis cuma jam 13.00-15.00, Jumat cuma jam 7.30-8.30
    2. Dosen
      Dosen di tempat gue sih sangat pintar, modern dan informatif. Memang tergantung style sih tapi sejauh ini gue survive. Gue belum bisa ngomong soal metode penilaian karena emang belom pernah 'dinilai'. Favorit gue sejauh ini dosen di kelas Diplomacy, International Organization dan Dosen Muda di Social and Political System of Indonesia. Kesamaan diantara tiga dosen itu? Muda, pintar dan sangat komunikatif.
    3. Kelas, FasilitasOK. Gue masih berharap IUP mau jadi pioneer penggunaan smartboard karena itu bakal super helpful. Apa mungkin smartboard susah didapat di Indonesia?
    4. Kelas, Mahasiswa
      Rame. Baik secara jumlah maupun berisiknya. Tapi tau diri kok, meski gak kaya di RP tapi gak separah di negeri juga. Kalo di RP kan disinisin dikit sama guru langsung diam membisu, kalo di kelas gue sih kalo dosennya bosen ya pada sibuk sendiri. Masalah kerja kelompok, teman-teman gue mature enough buat tau tanggung jawabnya. So gue sejauh ini nyaman di kelas mihihihi
      Diversitynya gak dari Sabang sampe Merauke gitu sih, tapi background masing-masing sangat menarik. Dari yang usaha 2 tahun (2-FREAKIN-YEARS) cuma buat masuk HI, sampe yang banting setir gak sengaja jadi anak HI kaya gue...
    5. Tugas
      NAH INI. Banyak yang merasa badai tugas tapi gue sih nyantai aja. Tugasnya masih tolerable dan bisa dikerjakan semalam semua jadi gue gak komplain. Buat gue, tugas susah itu kalo gak bisa dikerjain dalam waktu sehari. Di minggu ketiga, gue ngerjain 3 jenis tugas dalam waktu semalam dan tidur jam setengah 3 pagi sih. Belum kapok karena masih kekejar. Kalo udah banting tulang makan arang gak beres juga, baru gue kapok.
      Ini subjektif banget tapi di SMP, tugasnya jauh lebih aneh dan banyak cuma bisa diakalin atau di skip sesuka hati. Terus di SMA, tugasnya gak jauh beda sama sekarang-sekarang ini. Malah lebih ribet dan aneh-aneh tapi gue juga gak merasa terbeban sampe engap kaya adek gue sekarang. Jadi, jangan jadikan ini acuan karena kesimpulannya memang gue yang terlalu santai
    6. Bahan bacaan
      Ini banyak banget tapi lagi-lagi masih tolerable kok, mungkin karena gue yang suka baca. Gue cuma pernah ngerasa sebel dan sedih waktu harus cari berita dan gue baca-baca tentang polemik pilkada tidak langsung. Gue ngerasa sedih karena gue kesel banget sama DPR/D yang konyol, rasanya pengen pindah negara aja tapi masalah-masalah politik macem gini yang gue urusin tiap hari. ZZZ.
      Anyway, bahan bacaan wajib minggu-minggu awal adalah Dynamics of Diplomacy. Tamatin aja, dijamin hidupmu tenang.
    7. Pakaian
      Bebas, sebebas-bebasnya. Macem kalo gue ikut kelas di US aja. Well, sebenernya engga sih tapi para mahasiswa exchange gapapa kok pake tanktop dan hotpants. Entah fakultas nerapin double standard atau gak, yang jelas gue cukup puas dengan boleh pake atasan seenak hati dan bawahan yang enak dilihat (jangan seksi-seksi). Pengennya sih boleh pake sandal jepit ya, tapi udah dikasih hati kok minta jantung hahaha. Dresscode di NUS deh kalo gitu.
      Dresscode di fisipol yang sangat longgar ini membuat temen-temen gue dari SV dan Psikologi heran. Tapi bener deh, kayanya emang fisipol yang gak rese soal dresscode.
    8. Makanan
      Gue gak suka lembah atau kantin karena picky masalah tempat dan gue gak terlalu kaya untuk jajan di foodpark tiap hari. Kesimpulan, gue bawa bekal dan susu ;9

Will share more ketika gue menemukan hal yang baru disini ;)
Semoga thoughts gue soal tugas gak akan berubah yaa hahaha.

Sunday, September 7, 2014

First Week of Uni

Drained. Mentally.

Everything seemed too familiar. The empty promises from the faculty (small-sized class, fully equipped room, different and better facilities only-God-knows-what-those-are), the atmosphere, the people, the books... Nothing new. I feel like I'm stepping into a collection of my own memories from middle school plus the-not-so-great-world outside SMA Regina Pacis. I am not ready.

The classes are actually great. The lecturers are literally the best people that committed to the job. They are really insightful and I like how I could see the opportunity to grow and develop in this community. But this is not what I really want.

I always envisioned myself as a future banker. Dealing with the foreign exchange, doing trading and keeping myself updated with the current economic issues every single minute. I don't see myself representing the country as an ambassador or debating at some international organization meetings - fighting for issues that I care about.

I don't want to discourage anyone from applying to this university. It's just that what suit others not always the best for you. I have comparison. I have my own dream. I have my own ambition to be the First Lady. I have my own concept about living your life to the fullest.

and maybe the key fact is that I never care about popularity or ranking.

Yes, I might have kicked 33 people to get to where I am today but I never feel proud of the statistics. I had enough with the prestige, rank and popularity of being the best of the best in top schools. I might win the entrance exam battle, but I failed to convince myself.


Sunday, August 24, 2014

PPSMB Palapa 2014: Sebelum Closing

Jadi beberapa jam lagi saat closing akan tiba dan gue terus berefleksi (terima kasih #PM14BK dan pelajaran Agama, refleksi adalah bagian dari keseharian gue sekarang).

Dimulai dari hari pertama dimana semua orang masih sama-sama 'kepo' alias mengamati satu sama lain. Belum terbiasa dengan kebiasaan buang sampah bekas makan siang, belum tahu bahwa tiap hari akan dapat snack dari cakery yang sama, belum sadar apa gunanya tugas yang diberikan, dan berbagai hal baru lainnya.

Lalu hari kedua dimana lebih banyak human touch dari cofast gue, bukan sekedar scripted lesson. Pengamatan masih terus berlanjut tapi buat gue, rasanya games dan human touchnya jauh lebih ngena. Keterbukaan, bukan cuma sharing cerita dari cofast tapi juga dari sikap yang ditunjukkan. Keingintahuan, bukan sekedar pertanyaan yang muncul di kelas tapi obrolan ringan yang terdengar. Disini gue sudah bisa merasa betah dan nyaman dengan PPSMB, apalagi setelah gak harus pake baju putih dan dasi macem pas foto resmi SMA.

Hari ketiga tergantung fakultas masing-masing sih, bukan bagian dari Palapa. Mungkin gue akan mengulas ini nanti tapi yang jelas gue sangat senang dan bangga menjadi bagian dari fakultas TOP yang bermartabat. PPSMB di fakultas sangat menyenangkan, inspiratif dan sesuai dengan citra yang ingin ditampilkan - bukan sekedar jargon kosong.

Sebagai perbandingan, Spensa dan Smansa sama-sama nomor satu, top dan populer tapi kedua instansi tersebut bertolak belakang dengan citra yang dikenal masyarakat. ;)

Hari keempat gue tepar, karena symptom aneh seperti yang sudah-sudah. Kali ini terlalu memalukan untuk dipublish sehingga gue dipaksa untuk tidur di rumah oleh sang dokter.

Hari kelima. SOFTSKILL.
Suasana kelas udah nyaman banget eh cofastnya dirolling. Harus adaptasi lagi dengan game-game yang baru muahaha. Sebenernya gak selebay itu sih tapi kali ini kerasa banget scripted dan scheduled. Jadi bukan berdasarkan mood kelas gitu.

Meski suka ngantuk, gue seneng bisa lihat proses membangkitkan semangat dan mood kelas. Gue sangat buruk dalam hal ini, makanya hari kelima was such invaluable lesson, lanjutan dari refleksi kebodohan gue gak bisa ngapa-ngapain di #PM14BK hingga akhirnya HARUS didorong hingga tepi jurang biar tau caranya menyelamatkan diri. Yup, kalo lo tau lo gak bisa baca mood dan gak punya bakat untuk lead session emang scripted n scheduled sessions itu berguna banget and I truly respect that.

Hari keenam. SOFTSKILL lagi.
Mood yang padam, mata yang ngantuk dan energi yang tinggal sekian persen tiba-tiba recharge lagi pas Kak Isa masuk kelas. Sejak itu, ga ada yang hilang fokus atau antusiasme. Magnet banget gak sih?
Disini gue liat cara lead session yang bener-bener baru. Gak pernah ada di modul retreat atau dokumen projek tapi cukup efektif untuk mengendalikan grup meski dengan pengorbanan. Pengorbanan macem apa? Bukan numbalin diri sendiri atau ngambil waktu lebih tapi justru esensi dari materi tersebut. :)))

Well, I think I did this quite a few times. Gue lebih peduli sama ambience and atmosphere ketimbang mencapai hasil karena hasil itu sangat abstrak - relatif. It's okay to not reach your initial goal. Cuma harus inget untuk terus mengambil pelajaran dari pengalaman-pengalaman itu.

Pelajaran yang paling penting dari Palapa ini adalah awalnya gue berpikir hubungan yang akan tercipta bersifat klise dan mengambil quotes Singaporean students; they're just people from another project.
Tapi ternyata engga. Meski waktunya sangat terbatas dan lebih sering main game atau mendengar sharing kandang rusa ketimbang bonding, ada sense of ownership and appreciation diantara anggota grup. Cuma 4 hari dan itupun gak full loh... Sedangkan gue punya waktu 2 minggu FULL tapi gue nampaknya gak berhasil memanfaatkan waktu dengan baik.

Meski mungkin karena forum dan format yang berbeda, gue bener-bener iri sama Kak Wida dan Kak Isa yang bisa memberikan impact yang kuat dalam waktu yang singkat. Terima kasih, Kakak cofast yang sedemikian baik dan hebatnya. *kisses*

7jam menuju closing yang tampaknya akan sangat EPIC dan seru. 

Monday, August 18, 2014

PPSMB Palapa 2014: Pesan dari Drama Teatrikal

Gue nulis ini bukan karena gue punya banyak waktu dan bisa leha-leha, tapi karena Orasi Tokoh dari Anies Baswedan dan pertunjukkan drama teatrikal di pembukaan PPSMB Palapa 2014 ini resonated my thoughts.

Pak Anies suggest seluruh Gamada untuk menulis pengalamannya di blog. Untuk apa? Untuk berbagi dengan orang-orang, agar semua bisa belajar dari cerita gue. Exactly. Seandainya semua orang menulis, gue ga akan susah cari sample essay atau masalah administratif penggunaan common app dengan standard Indonesia :")

But anyway, Pak Anies juga berkata bahwa good GPA will only give you job interview. Planning terhadap kehidupan mahasiswa lebih penting agar memiliki masa depan yang terukur. Bagian ini bener-bener resonated dengan langkah gue. Seperti biasa, langkah dan pilihan yang telah gue lakukan tapi gue ga pernah bisa menemukan cara yang tepat untuk menjelaskannya. Poin ini menjelaskan pilihan gue untuk out dan menarik diri dari semua lomba, menjadi sekedar siswa 'diatas rata-rata' dan terjun ke dalam organisasi yang ideal menurut gue.

Setelah orasi tokoh, acara dilanjutkan dengan drama teatrikal yang benar-benar ciamik. Pertunjukkannya sangat menyentuh gue, betapa gue saat ini bisa melihat penampilan itu dengan perspektif berbeda. Gak cuma bilang keren, tapi juga melihat sisi humans (translationnya bukan humanis loh ya) dari para seniman yang tampil. Sekedar menari aja udah susah dan panas, sedangkan kakak-kakak tadi harus perform dibawah terik matahari!!!

Karena jarak yang jauh, mungkin orang-orang gak akan pernah tau ribetnya dandan dan make kostum. Atau seberapa banjirnya badan setelah usai tampil dan make up yang udah luntur meski pake Kryolan. :')

Lalu apresiasi yang datang sekedar karena background music yang keren dan visual warna warni yang menarik... NO. Nari bukan cuma soal kostum yang eye catching seperti kostum AYE/Konvenda gue ditambah musik yang hip ala Bu Ina dan kemudian goyang sana sini. GAK. Orang gak pernah tau seberapa rendah kaki harus menekuk dan seberapa sulit meluruskan badan ditengah berbagai gerakan tubuh yang dilakukan.

I was really touched when thinking about the sacrifices to put everything together on that stage. Gue salut banget dengan para performers dan penampilan tadi bikin gue fix banget mau ngelanjutin nari di kuliah dan belajar tarian daerah lain. 

Berikutnya soal moving yang penuh debu dan lari-lari. Meski terkesan kejam karena cuaca yang panas, movingnya sangat efektif dan manusiawi. Gue suka karena teriakannya dapat diterima, bukan nonsense yang cuma ngasi kesan 'kedisiplinan tingkat xxx'. Efektif dan efisien, meski gue bukan bagian dari tim yang harus lari berhubung gue punya alergi panas seperti biasanya. 

Soal acara di kelas... I don't know where to start hmm.
My co-facilitator, Kak Wida dan Kak Isa, reminded me of our project leaders pairing. Both with their own unique characteristics that really complemented each other. I have no thorn but bunch of roses for them *love*

Kak Wida sangat pengertian dan pintar merangkul para peserta sedangkan Kak Isa mahir didalam mengontrol mood tanpa one-word check in atau energy level model projek. Kelas hari ini gak pernah kehilangan sparknya. 

PERFECT.

I could not ask for a better day to start what-I-used-to-believe-as scary orientation. I learned a lot, mainly from the people rather than the materials. I am truly grateful for today.

Look forward to end everything soon and hang out with Maro!

Sunday, August 17, 2014

PPSMB: Pra

Kurang dari 24 jam lagi gue bakal menghadapi PPSMB.

Setelah 4 hari di Yogya dan merasakan vibes dari kehidupan kampus serta mengetahui lebih baik seperti apa PPSMB itu dari technical meeting, I have a good feeling about this. I no longer freaked out in anxiety and silence, fearing that the traumatizing moment from 2008 would revive.

Anyway, gue merasa betapa diperlukannya #Respect untuk seluruh individu yang menyiapkan PPSMBnya karena skala PPSMB ini massive tetapi entah bagaimana selalu epic tiap tahunnya. Wow. Hats off buat kakak-kakak panitia ;D

Kekurangan gak bisa terhindarkan, tapi kenapa sih masih ada orang yang bisanya cuma komplain aja? Gue udah planning setahun buat projek yang cuma melibatkan puluhan orang aja kekurangannya banyak bangettt kok. Apalagi dengan skala yang super besar kaya PPSMB Palapa ini. Take a look at the bright side. Mungkin ini bukan langkah yang selalu tepat (lesson learned: you can't be too positive in life!), tapi mengambil pelajaran dari setiap kejadian hidup itu sangat essensial daripada selalu komplain dan komplain.

Sekarang gue ngerti pentingnya pengalaman organisasi, karena gue ngerasain jauh lebih capek jadi panitia MOPDB seksi gabut dibandingkan dengan peserta paling rajin se-MOPDB RP.

It takes time to learn and to respect. I won't say this in 2008... or even 2011.

Monday, February 10, 2014

Balik Lagi Ke Negeri

Rasanya gue udah puluhan kali ke Yogyakarta, kota yang selalu menawan dan nyaman, tapi ternyata gak banyak yang gue ketahui selain tempat-tempat turis macam Malioboro, Keraton atau Ullen Sentalu ditambah sederetan mall yang paling wajib dikunjungi meskipun tidak ada yang baru.

Weekend kemarin, gue kembali ke Yogyakarta. Kali ini dengan specified purpose yaitu tes masuk salah satu program sarjana di salah satu PTN. Tesnya memang surprisingly cepat, anak RP mungkin yang tahu hanya segelintir karena banyak yang mengira tes-tes mandiri hanya akan dibuka setelah SNMPTN/SBMPTN. No baby, they offer much bigger value - ketenangan dan kepastian.

Dengan mengikuti tes ini, hasilnya akan keluar hanya seminggu setelahnya. I don't know what's next karena memang tidak diumumkan. Tapi pasti masalah payment lah.

Saat akan test, gue punya ekspetasi cukup tinggi. Tes yang nyaman di ruangan dan gedung yang modern. Tapi ternyata enggak. Tesnya diadakan di hall besar di Fakultas Hukum yang terlihat tua dan tidak dilengkapi AC. Sebenarnya itu bukan masalah. Cuma gue sempat kaget dengan meja dan kursi kayunya yang dipenuhi oleh vandalisme tidak pantas.

Gue pun merasa aneh dan kaget. Sudah hampir enam tahun gue ga melihat 'pemandangan' seperti itu di meja. Meja di SMP relatif lebih bersih karena warnanya putih (so tip-ex ga mempan, lagi pula memang gak boleh pake tip-ex), sedangkan di SMA setiap setahun sekali pasti dibersihkan dan di-furnish ulang. Entah mengapa, kalau mau iseng atau bikin contekan di meja pun gak ada yang pake tip-ex tapi pulpen atau pensil. Karena merasa 'lucu', gue mengabadikan salah satu vandalisme yang gue lihat dan menguploadnya ke instagram.

Respon yang gue dapet semua datang dari teman yang satu SMA dengan gue. Barulah gue tersadar, teman-teman yang di sekolah negeri terbiasa melihat semua itu setiap hari. Mereka tidak menganggap itu aneh ataupun worth-posting. Dan kini, gue diingatkan kembali pada realita itu.

Ketika dimulai, tas diminta dikumpulkan di depan ruangan atau samping meja. Karena terbiasa dengan SAT dan ujian-ujian di SMA, gue pun melakukannya dan hanya meninggalkan kartu peserta, passport dan alat tulis di meja. Gue melihat sekeliling gue, banyak sekali yang punya tempat pensil di meja. Gue nggak merasa perlu dan pantas bawa tempat pensil di meja ujian. Tapi tentu, pendapat gue ga ada pengaruhnya sama mekanisme test dong ah. Gue seketika teringat saat akan tes masuk SMA, dimana gue kaget karena tidak boleh membawa tempat pensil. Oh kebiasaan lama itu.

Yang paling mengagetkan adalah ketika seluruh peserta diminta membawa ID tapi ID tersebut sama sekali tidak dicek. Gue udah ekstra hati-hati dan terus mengecek passport gue karena hal yang paling gak gue inginkan saat ini adalah kehilangan passport. Gue ga bisa bawa ID lain karena nomor ID yang gue registrasikan adalah nomor passport. Sempat sih terpikir, "Halah, mana peduli. Paling yang di cek cuma nama sama foto."
Ternyata, jangankan cuma cross-check santai, dilirik pun tidak. Saat itu, gue disentil bahwa tidak semua institusi punya standar yang sama.

Hal itu membuat gue bertanya, "Apa gue siap balik ke keadaan awal nanti - yang mungkin penuh kecanggungan?"

PASTI SIAP.
Iya, gue yakin. Cuma harus banyak belajar untuk menutup mulut, bersabar dan menolerir pelanggaran idealisme.