Memang benar bahwa ada banyak alasan untuk mengeluh, tapi ada lebih banyak alasan untuk bersyukur.
Hari ini, ditengah luapan emosi aneh karena pressure untuk SAT besok, gue mengingat kembali masa-masa pendidikan gue sejak kelas 1 SD. Bukan karena gue udah gak inget masa-masa TK atau playgroup, tapi karena saat masuk SD merupakan salah satu turning point dalam hidup yang tidak gue sadari.
Gue gak tahu apa yang bagus di SD Negeri Polisi 1. Nama yang terdengar aneh itu membuat gue berpikir gue akan bertemu banyak anak polisi yang bersekolah disana. Sama halnya dengan orang tua gue, mereka juga tidak mengetahui banyak hal. Sebagai pendatang, yang mereka tahu hanya SD Negeri Polisi 1 adalah sekolah dasar negeri terbaik di Kota Bogor kala itu.
Bermodalkan fakta yang didengar dari orang kepercayaan tersebut, orang tua gue lalu berusaha mendaftarkan gue disana. Menariknya, gue secara resmi tidak diterima di SD ini karena umur gue kurang 3 bulan. I read the official letter dengan statement
Tahun pertama dan kedua gue berlangsung dengan lancar. Nilai gue cukup bagus dan membanggakan. Masalah kurang umur malah menjadi keistimewaan. Gue beberapa kali mendengar wali kelas gue bercerita dengan bangga terhadap guru lain, "Si Alira mah bageur. Ieu peunteuna ge bagus-bagus padahal umurnya masih kurang loh!" Umm, tampaknya gue gemar menguping sejak SD :p hahaha
Satu-satunya masalah hanya pelajaran Bahasa Sunda. Beruntungnya, gue selalu bisa menyalin dari teman sebangku gue yang merupakan orang Sunda asli. Believe or not, gue masih inget saat-saat gue mencontek di kelas satu dan dua dengan polosnya karena gue sama sekali gak ngerti satu kata pun dalam soal, apalagi membaca keras dengan pelafalan yang betul.
Di tahun ketiga, mulai ada ganjalan dengan kehidupan sosial gue di sekolah. Gue tumbuh menjadi anak yang selalu ingin mendominasi, cenderung sok tahu tapi dicintai guru. Di jenjang ini pula akhirnya gue paham bahwa kata "terbaik" itu relatif dan sangat dinamis. Sekolah gue mendadak bukan sekolah nomor satu lagi dan gue mulai kesal karena banyak guru yang kurang kompeten dalam mengajar.
Lebih sering bergaul dengan koran dan buku ketimbang teman sepermainan membuat gue menjadi terlampau kritis. Gue tidak terima dengan informasi-informasi basi yang ada di buku IPS, terlebih yang menyangkut bank-bank yang sudah dilebur dengan bank lain. Meski tidak terlalu mempengaruhi prestasi gue, pandangan baru yang lebih obyektif terhadap sekolah membuat gue merasa tidak betah. Hal ini semakin parah di kelas empat. Wali kelas gue saat itu adalah seorang guru yang sangat pintar dan brilliant. Sayangnya, kecerdasan itu tidak tersampaikan dengan baik pada murid-muridnya. Kami lebih menganggap beliau sebagai guru cerewet, galak dan banyak ceramah. Padahal setelah dipikir-pikir, beliau lah yang memiliki pemikiran paling sesuai dengan gue, dari mulai cara beliau untuk mengkritisi institusi, sistem dan otoritas hingga cara berbicara yang ceplas-ceplos tanpa ditahan.
Salah satu yang gue ingat, "Kalian itu bayar sekolah bukan untuk menggaji ibu! Gaji ibu berjuta-juta dibayar oleh pemerintah! Uang kalian itu untuk bayar keperluan sekolah,..."
Sejak saat itu keinginan gue untuk pindah sekolah semakin memuncak. Ibu pun sangat mendukung, tapi beliau mengingatkan resiko yang harus gue hadapi. Terutama fakta bahwa sekolah baru belum tentu lebih baik. Mendengar hal itu, gue memilih untuk bertahan meski banyak ketidakcocokan.
Tahun kelima dan keenam, hari-hari gue lebih banyak diisi dengan emosi yang meledak-ledak karena suasana di rumah dan lomba-lomba. Rasanya, di kelas lima inilah gue mulai benar-benar tidak belajar. Mau ada ulangan atau apa, santai saja. Apalagi kalau cuma matematika. Sedangkan kalau pelajaran lain, gue selalu bisa tanya teman. Yeah, gue sudah menjadi master mencontek bahkan sejak saat SD.
Pandai mencontek bukannya membuat gue senang, malah semakin kesal. Gue tahu hal itu tidak boleh dilakukan tapi gue masih terus melakukannya dan tidak pernah ditegur. Alhasil meski hampir tidak ada beban atau tuntutan dari sekolah karena mereka terlalu mencintai gue, ditahun-tahun ini gue malah menjadi individu paling menyebalkan satu sekolah. Akhirnya, dimasa ini gue secara resmi menjadi anak yang tidak pernah menyaring perkataannya ketika bicara dan tidak peduli lagi tentang aftermathnya.
Kemudian kejutan pertama dari pemerintah tiba. Angkatan gue menjadi angkatan pertama yang harus melalui ujian berstandar nasional di tingkat SD. Les-les pun menjadi sangat laku, apalagi yang diadakan salah seorang wali kelas. Karena tidak merasa khawatir dan orang tua gue tidak pernah datang ke sekolah, gue telat mengetahui informasi tersebut. Saat gue ingin mendaftar ternyata kelasnya sudah penuh. Mau daftar ditempat lain, malas. Alhasil gue mengandalkan niat dari diri sendiri.
Les internal yang sangat rentan dengan kecurangan itu memang ternyata berhasil mengantarkan anak-anak didikannya untuk mendominasi peringkat-peringkat Try Out. Setiap peringkat 10 besar Try Out dibacakan, pasti hanya ada 1 anak yang bukan dari tempat les tersebut. Guru itu pun dengan bangga berkata, "Tiap tahun nilai ujian tertinggi pasti dari kelas saya."
Yeah that's obvious, karena beliau juga yang membuat soal.
Anyway, akhirnya ujian nasional yang ditakuti semua anak itu tiba. Hanya ada satu paket. Dari jauh-jauh hari kami diperingatkan bahwa yang mengawas adalah guru dari sekolah lain, sangat ketat blablabla. Semua cuma mitos. Nyatanya gue masih bisa mencontek dengan sangat ekstrim. Bahkan di kelas lain, anak yang dianggap paling pintar diminta untuk membacakan jawabannya agar teman-temannya juga bisa lulus dengan nilai baik.
Saat itu, gue menyalahkan sekolah dan pengawas.
Tapi hal itu tidak berlarut-larut karena gue tetap mendapat hasil yang memuaskan saat kelulusan SD. Well, the logic was simple. Kalau rugi marah, kalau gak rugi yasudah. Toh dengan hasil tersebut, gue bisa masuk ke sekolah negeri manapun yang ada di pikiran gue. Meski begitu, karena gue sudah diterima di SMP negeri legendaris di Kota Bogor yang selalu menjadi trending topic tulisan-tulisan gue di blog ini, gue tidak membutuhkan hasil UN tersebut.
Gue meninggalkan SD dengan perasaan bercampur. Saat itu, gue merasa senang karena akan memulai pertemanan dengan orang-orang baru dan menghapuskan catatan-catatan buruk dengan membangun image baru. Disisi lain, meski ada rasa kecewa, gue juga merasa berhutang budi. SD gue, dengan segala kelebihan dan kekurangannya adalah tempat yang gue cintai dan gue gak akan pernah menyesali bersekolah disana.
Tanpa sadar, guru dan hari-hari SD yang membentuk karakter dominan gue. Dari mulai keterampilan dasar yang vital, kepercayaan diri dalam bidang tertentu hingga cara pandang terhadap suatu masalah. Sumpah, satu setengah juta rupiah ditambah uang sekolah Rp 18.000 perbulan yang kemudian naik menjadi Rp 36.000 dan akhirnya Rp 81.000 di kelas enam itu adalah investasi yang sangat menguntungkan.
Guru-guru jaman SD juga adalah salah satu suporter terbaik dalam perjalanan gue dan akan selalu menjadi bagian penting dari hidup gue. Di SD pula gue bertemu beberapa teman terbaik yang masih bertahan hingga saat ini dan awal mula gue mulai berbicara dalam Bahasa Sunda. Trust me, Bahasa Sunda di SD jauh lebih fun dari SMP apalagi SMA karena selalu ada teman yang mempopulerkan kosakata baru yang bisa digunakan untuk meledek teman, dari bangor hingga tutung.
Gue akan selalu berhutang untuk SD gue dan gue termotivasi untuk give back ke sekolah gue tersebut.
Love,
Alira
No comments:
Post a Comment